Pekanbaru. Suarademokrasiriau.com-Kehidupan buruh sampai saat ini masih sangat memprihatinkan. Kehidupan buruh masih masuk dalam katagori marjinal, yaitu kelompok yang tidak memiliki akses ekonomi-politik yang sering identik dengan kemiskinan. Sabtu (30/07/22).
Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian pemerintah dan pengusaha dalam pemenuhan hak-hak normatif pekerja. Salah satunya adalah minimnya fasilitas jaminan sosial dan upah pekerja.
Pelaksanaan program jaminan sosial dan upah pekerja tenaga kerja masih sangat lemah terlebih bagi buruh harian lepas Bangunan dan Pekerjaan Umum, khususnya yang bekerja di sektor F SP BPU- K SPSI (Bangunan dan Pekerjaan Umum). Alasan klasik yang selalu dikatakan ketua F SP BPU- K SPSI kota Pekanbaru Samuel Sitompul.
"Keterbatasnya jumlah pengawas tenaga kerja di dinas tenaga kerja (Disnaker). Untuk menutupi kelemahan ini kami selaku serikat pekerja Sp Bpu - SPSI kota Pekanbaru dan jajaran akan bertindak adil dengan adanya tindakan tegas terhadap pengusaha yang melanggar ketentuan ini.
Lanjut Samuel Sitompul," Ada beberapa faktor yang menyebabkan mandulnya program jaminan sosial dan upah pekerja. Pertama, tidak ada keseriusan berupa political will dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan buruh. Dua, undang-undang yang berlaku jika ditelisik lebih jauh, belum sepenuhnya membela kepentingan buruh tenaga lokal. Menyangkut peserta jaminan sosial dan upah pekerja buruh lepas misalnya lebih dominan merekrut pekerja dari luar daerah dengan upah seadanya.
"Tidak ada secara tegas yang menyatakan bahwa tenaga kerja (buruh) yang berstatus harian lepas pekerja Bangunan dan Pekerja umum, juga merupakan peserta jaminan sosial. Pada kenyataannya, peserta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan didominasi buruh yang berstatus tetap. Ketiga, belum adanya sistem kebijakan penghargaan (award) dan hukuman (punishment). Ini sebagai alat kontrol bagi F SP BPU- K SPSI untuk menilai kinerja pengembang bangunan, dan kontruksi tegas Samuel Sitompul.
"Belum ada yang memberikan jaminan sosial bagi seluruh pekerjanya. Termasuk pekerja buruh yang berstatus tidak tetap (harian lepas) Bentuknya bisa berupa kemudahan mendapatkan pekerjaan untuk khususnya pekerja lokal, upah yang memadai. Sedangkan hukuman diberikan bagi pemilik dan pengembang bangunan, yang dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerja ke dalam program jaminan sosial ke tenaga kerjaan. Terhadap buruh lepas bangunan dan pekerja umum. Mari kita pertahankan hak mereka, tegasnya".
Hukumannya adalah sanksi pidana bagi pemilik dan pengembang, sampai pada penutupan perusahaan (proyek) tersebut (lock out).
"Dan sebelumnya, harus ada kesamaan pandang bagi kita untuk menempatkan posisi buruh. Di mana dalam prakteknya sekarang ini buruh merupakan outsider. Desain kebijakan belum meposisikan buruh sebagai salah satu pemangku kepentingan utama (stakeholder). Implikasinya adalah pelanggaran berbagai hak normatif buruh. Seperti upah rendah, minimnya alat pelindung diri (APD), rendahnya kualitas alat kerja, buruknya fasilitas kerja, mengindahkan pekerja lokal, dan pelanggaran keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Untuk mengatasi masalah ini, maka terlebih dahulu kita harus mengubah paradigma kita mengenai buruh.
Mengacu buruh bukan budak atau pekerja paksa. Mereka sama halnya dengan kelompok masyarakat lainnya, termasuk kaum elite pengusaha dan penguasa, pemilik serta pengembang bangunan. Dan ini secara gamblang dijamin di konstitusi. Buruhlah yang membuat alat produksi memiliki nilai sehingga dapat mendatangkan kapital (modal). Meski buruh itu sendiri tidak memiliki modal. Namun, tenaga dan jasa yang dikeluarkan buruh sama berharganya dengan modal yang dimiliki pengusaha, tutup Samuel Sitompul.
Tak lepas dari itu, "Ketika posisi buruh pekerja dan pengusaha sudah sederajat, maka tenaga dan jasa yang mereka keluarkan harus dihargai dengan upah yang setimpal. Maka dari itu, konsep pembuatan upah minimum, provinsi (UMP), kabupaten/kota (UMK), dan sektor (UMSK) tidak lagi didasari atas kebutuhan hidup seorang lajang, tetapi atas dasar keperluan jumlah anggota keluarga. Atau, penentuan upah harus didasari berdasarkan nilai produksi yang diciptakannya selama satu hari. Dengan kata lain, upah buruh sudah bisa untuk memproteksi keperluan keluarga buruh (istri dan anak).
Lanjut Samuel Sitompul," Ada beberapa faktor yang menyebabkan mandulnya program jaminan sosial dan upah pekerja. Pertama, tidak ada keseriusan berupa political will dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan buruh. Dua, undang-undang yang berlaku jika ditelisik lebih jauh, belum sepenuhnya membela kepentingan buruh tenaga lokal. Menyangkut peserta jaminan sosial dan upah pekerja buruh lepas misalnya lebih dominan merekrut pekerja dari luar daerah dengan upah seadanya.
"Tidak ada secara tegas yang menyatakan bahwa tenaga kerja (buruh) yang berstatus harian lepas pekerja Bangunan dan Pekerja umum, juga merupakan peserta jaminan sosial. Pada kenyataannya, peserta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan didominasi buruh yang berstatus tetap. Ketiga, belum adanya sistem kebijakan penghargaan (award) dan hukuman (punishment). Ini sebagai alat kontrol bagi F SP BPU- K SPSI untuk menilai kinerja pengembang bangunan, dan kontruksi tegas Samuel Sitompul.
"Belum ada yang memberikan jaminan sosial bagi seluruh pekerjanya. Termasuk pekerja buruh yang berstatus tidak tetap (harian lepas) Bentuknya bisa berupa kemudahan mendapatkan pekerjaan untuk khususnya pekerja lokal, upah yang memadai. Sedangkan hukuman diberikan bagi pemilik dan pengembang bangunan, yang dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerja ke dalam program jaminan sosial ke tenaga kerjaan. Terhadap buruh lepas bangunan dan pekerja umum. Mari kita pertahankan hak mereka, tegasnya".
Hukumannya adalah sanksi pidana bagi pemilik dan pengembang, sampai pada penutupan perusahaan (proyek) tersebut (lock out).
"Dan sebelumnya, harus ada kesamaan pandang bagi kita untuk menempatkan posisi buruh. Di mana dalam prakteknya sekarang ini buruh merupakan outsider. Desain kebijakan belum meposisikan buruh sebagai salah satu pemangku kepentingan utama (stakeholder). Implikasinya adalah pelanggaran berbagai hak normatif buruh. Seperti upah rendah, minimnya alat pelindung diri (APD), rendahnya kualitas alat kerja, buruknya fasilitas kerja, mengindahkan pekerja lokal, dan pelanggaran keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Untuk mengatasi masalah ini, maka terlebih dahulu kita harus mengubah paradigma kita mengenai buruh.
Mengacu buruh bukan budak atau pekerja paksa. Mereka sama halnya dengan kelompok masyarakat lainnya, termasuk kaum elite pengusaha dan penguasa, pemilik serta pengembang bangunan. Dan ini secara gamblang dijamin di konstitusi. Buruhlah yang membuat alat produksi memiliki nilai sehingga dapat mendatangkan kapital (modal). Meski buruh itu sendiri tidak memiliki modal. Namun, tenaga dan jasa yang dikeluarkan buruh sama berharganya dengan modal yang dimiliki pengusaha, tutup Samuel Sitompul.
Tak lepas dari itu, "Ketika posisi buruh pekerja dan pengusaha sudah sederajat, maka tenaga dan jasa yang mereka keluarkan harus dihargai dengan upah yang setimpal. Maka dari itu, konsep pembuatan upah minimum, provinsi (UMP), kabupaten/kota (UMK), dan sektor (UMSK) tidak lagi didasari atas kebutuhan hidup seorang lajang, tetapi atas dasar keperluan jumlah anggota keluarga. Atau, penentuan upah harus didasari berdasarkan nilai produksi yang diciptakannya selama satu hari. Dengan kata lain, upah buruh sudah bisa untuk memproteksi keperluan keluarga buruh (istri dan anak).
(Editor- redaksi)**
0 comments:
Posting Komentar