Popular Posts

IBX5B323AD6A28CA

04 Juni 2018

Pasal-Pasal Mengenai Tindak Pidana Korupsi/Tipikor Dicabut Dari RKUHP"


Jakarta - SuaraDemokrasiRiau- RKUHP yang rencananya akan disahkan pada bulan Agustus 2018 disebut mengancam keberadaan KPK sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi. Apa sebabnya?

Indonesia Corruption Watch (ICW) membikin petisi di dalam rangka mendukung agar pasal-pasal mengenai tindak pidana korupsi atau tipikor dicabut dari RKUHP. Pasalnya, mereka menilai pasal-pasal tipikor itu bisa mengancam eksistensi KPK.
Senin (4/6/2018), ICW menyebut setidaknya 2 alasan RKUHP tersebut membahayakan KPK, apa saja?


1. KPK Tak Lagi Bisa Usut Kasus Korupsi

KPK terancam tidak bisa lagi melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terkait kasus tipikor apabila RKUHP disahkan. Dalam petisi itu disebutkan, kewenangan KPK tercantum dalam UU KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor (dan bukan dalam KUHP). Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka hanya kejaksaan dan kepolisian yang dapat menangani kasus korupsi. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.

Tidak hanya KPK, akan tetapi Pengadilan Tipikor pun terancam keberadaannya. Selama ini Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili kejahatan yang diatur dalam UU Tipikor. Maka jika R-KUHP ini disahkan kejahatan korupsi akan kembali diperiksa dan diadili Pengadilan Negeri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada masa lalu Pengadilan Negeri kerap memberikan vonis ringan bahkan tidak jarang membebaskan pelaku korupsi.

2. RKUHP Untungkan Koruptor

Dalam petisi itu disebutkan, ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RKUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor. Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum dan dihukum bersalah tidak diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya kepada negara karena RKUHP tidak mengatur hal ini. Selain itu pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum.

Untuk itulah, ICW membikin petisi tersebut yang isinya:

1. Presiden Joko widodo dan Ketua DPR serta Ketua Umum dari Partai Politik di DPR untuk segera menyelamatkan KPK dari bahaya dengan segera menarik seluruh aturan atau delik korupsi dalam RKUHP.

2. Pemerintah dan DPR agar lebih memprioritaskan pada pembahasan regulasi atau Rancangan Undang-Undang yang mendukung upaya pemberantasan korupsi seperti Revisi UU Tipikor, RUU Pembatasan Transaksi Tunai dan RUU Perampasan Aset Hasil Kejahatan.

Di sisi lain, KPK juga berulang kali menyampaikan penolakan terhadap rencana disahkannya RKUHP apabila masih ada pasal-pasal mengenai tindak pidana khusus di dalamnya. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan surat penolakan pun sudah dikirimkan ke Jokowi.

"KPK sudah menyampaikan sikap secara tegas bahwa kalau RUU KUHP itu disahkan seperti dalam kondisi saat ini ketika pasal-pasal korupsi masih dimasukkan dalam rancangan tersebut maka itu sangat berisiko bagi pemberantasan korupsi," kata Febri di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan.

Febri mengatakan dalam surat yang dikirim ke Jokowi-dan juga ke DPR serta Kementerian Hukum dan HAM--terpaparkan soal latar belakang sikap KPK. Menurut Febri, kajian tentang sikap KPK itu pun sudah berlangsung sejak lama tetapi tidak pernah diindahkan.

"Apa yang disampaikan KPK kemarin, tentang rancangan KUHP tidak datang tiba-tiba karena kajian sudah kita lakukan bahkan sejak tahun 2014 dan 2015. Di draft pertama itu kita sudah wanti-wanti sejak awal ada risiko besar bagi pemberantasan korupsi kalau model-model seperti ini masih diteruskan," ucap Febri.

"Jadi ini seperti mengetuk pintu hati presiden ya saya kira kita mau bawa ke mana ya pemberantasan korupsi ke depan kalau tetap dipaksakan pengesahannya dengan memasukkan RUU KUHP maka ada risiko besar bagi KPK dan bagi pemberantasan korupsi dan kami menduga yang akan diuntungkan kalau pemberantasan korupsi melemah ya pelaku korupsi itu sendiri," imbuh Febri. (Red-SDR-Sumber-detik.com)